Benarkah Kekayaan Menjamin Kesejahteraan? Pandangan Ibnu Khaldun

        Di zaman modern, kekayaan sering kali dianggap sebagai tolok ukur utama kesejahteraan. Rumah mewah, kendaraan mahal, dan aset melimpah diasosiasikan dengan kehidupan yang sejahtera. Namun, benarkah kekayaan materi secara otomatis menjamin kesejahteraan manusia secara utuh?

Ibnu Khaldun (1332–1406 M), seorang filsuf, ekonom, dan sejarawan Muslim terkemuka, menawarkan pandangan yang sangat relevan untuk menjawab pertanyaan ini. Melalui karya monumentalnya Muqaddimah, ia menjelaskan hubungan antara kekayaan, pembangunan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat dengan pendekatan yang lebih holistik daripada sekadar materi.




Ibnu Khaldun: Tokoh Ilmuwan Multidisipliner

    Ibnu Khaldun dikenal sebagai pelopor sosiologi dan ekonomi politik. Dalam Muqaddimah, ia membahas siklus peradaban, pembangunan negara, moralitas sosial, serta ekonomi dalam bingkai sejarah dan budaya. Ia tidak memisahkan ekonomi dari etika, agama, dan stabilitas sosial—berbeda dengan banyak teori ekonomi modern yang cenderung materialistik.


Kekayaan sebagai Alat, Bukan Tujuan

        Bagi Ibnu Khaldun, kekayaan hanyalah wasilah (alat), bukan ghayah (tujuan). Ia menegaskan bahwa kekayaan seharusnya menjadi sarana untuk menciptakan keadilan sosial, memperkuat negara, dan memenuhi kebutuhan dasar manusia. Namun, ketika kekayaan menjadi tujuan akhir, maka kehancuran moral, ketimpangan, dan dekadensi sosial bisa terjadi.

"Kekayaan adalah sesuatu yang diperlukan manusia untuk kelangsungan hidup, namun pencarian yang berlebihan akan mengarah pada kerakusan dan melemahkan nilai-nilai keadilan." — (Muqaddimah, Bab tentang Ekonomi dan Negara)


Kesejahteraan dalam Pandangan Ibnu Khaldun

Kesejahteraan menurut Ibnu Khaldun tidak hanya diukur dari jumlah harta, tetapi juga meliputi aspek:

  1. Keadilan dan Stabilitas Politik
    Ibnu Khaldun menilai bahwa ketidakadilan dalam distribusi kekayaan akan memicu ketidakpuasan rakyat dan melemahkan negara. Negara yang makmur adalah negara yang adil, bukan hanya kaya.

  2. Moralitas dan Etika
    Ia mengamati bahwa masyarakat yang terlalu fokus pada kekayaan cenderung mengalami degradasi moral, seperti korupsi dan kerakusan. Ini merusak struktur sosial dan pada akhirnya menurunkan kualitas hidup masyarakat.

  3. Produktivitas dan Kerja
    Kekayaan yang didapat dari usaha dan kerja keras lebih berkelanjutan daripada yang diperoleh dari monopoli atau penindasan. Ia menekankan pentingnya kerja produktif dalam membentuk masyarakat yang sejahtera.

  4. Kesatuan Sosial (Asabiyah)
    Ibnu Khaldun menilai bahwa kesejahteraan masyarakat sangat ditentukan oleh solidaritas dan kesatuan sosial. Kekayaan tanpa kohesi sosial hanya akan menimbulkan kesenjangan dan konflik.


Contoh Siklus Peradaban

        Ibnu Khaldun menggambarkan siklus dinasti: dari masa awal yang keras dan disiplin, berkembang menjadi masa kemakmuran dan kekayaan, kemudian diikuti oleh dekadensi karena kecintaan berlebihan pada kenyamanan. Akhirnya, masyarakat tersebut mengalami kemunduran dan digantikan oleh kekuatan baru.

        Artinya, kekayaan memang bisa membawa kemakmuran, tetapi jika tidak diiringi nilai-nilai luhur, ia bisa menjadi bumerang yang mempercepat kehancuran.


Relevansi Gagasan Ibnu Khaldun di Era Modern

        Konsep Ibnu Khaldun sangat relevan dengan realitas hari ini. Banyak negara kaya yang tetap dihantui oleh ketidaksetaraan, krisis moral, dan konflik sosial. Di sisi lain, ada komunitas dengan sumber daya terbatas namun hidup dalam harmoni dan kebahagiaan karena nilai-nilai sosial dan etika yang kuat.

        Dalam konteks ekonomi kontemporer, pendekatan Ibnu Khaldun bisa memperkaya paradigma pembangunan: bahwa pertumbuhan ekonomi harus inklusif, berkeadilan, dan bermoral, agar benar-benar menciptakan kesejahteraan sejati.

    Ibnu Khaldun dengan tegas menunjukkan bahwa kekayaan tidak otomatis menjamin kesejahteraan. Justru, tanpa dibarengi nilai-nilai moral, keadilan, dan kesatuan sosial, kekayaan bisa menjadi penyebab kehancuran suatu masyarakat. Oleh karena itu, kesejahteraan harus dipahami sebagai kondisi utuh yang mencakup aspek spiritual, sosial, dan ekonomi.



Sumber Referensi:

  1. Ibn Khaldun, Muqaddimah, terj. Franz Rosenthal. Princeton University Press, 1967.

  2. Syed Farid Alatas, Applying Ibn Khaldun: The Recovery of a Lost Tradition in Sociology, Routledge, 2014.

  3. Abdullah al-Ahsan & Ahmad Thomson, The Islamic Worldview, IIIT, 2008.

  4. Fuad Baali, Ibn Khaldun and the Arab Social Science Tradition, American University of Beirut, 1981.

Posting Komentar untuk "Benarkah Kekayaan Menjamin Kesejahteraan? Pandangan Ibnu Khaldun"